Translate

Translate

Selasa, 05 Juni 2012

Sejarah Islam Di Kota Cirebon



Islamisasi di Betawi

Oleh Alwi Shahab

Dalam diskusi 'kecil' di Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) awal pekan ini, banyak dipertanyakan sejak kapan penduduk Betawi (Jakarta) memeluk agama Islam. Apakah proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya baru terjadi sejak Falatihan, panglima Kerajaan Islam Demak menaklukkan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527. Pendapat ini dibantah keras budayawan Betawi, Drs Ridwan Saidi. Menurut dia, proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya sudah terjadi jauh lebih awal. Bahkan, lebih dari 100 tahun sebelum kedatangan balatentara Falatehan yang mengusir orang Barat (Portugis) di Teluk Jakarta (sekitar Pasar Ikan). Tepatnya pada tahun 1412, yang digerakkan oleh Syekh Kuro, seorang ulama dari Campa (Kamboja). Pada tahun tersebut, ia telah membangun sebuah pesantren di Tanjung Puro, Karawang. Sementara, Siswadi, dalam tulisan mengenai 'Perkembangan Kota Jakarta,' menulis : 'Dalam abad ke-14 dan 15 kraton-kraton di Jawa sudah menerima Islam karena alasan politik.'

Menurut kitab 'Sanghyang Saksakhanda', sejak pesisir utara Pulau Jawa -- mulai dari Cirebon - Krawang dan Bekasi -- terkena pengaruh Islam yang disebarkan orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu yang masuk Islam.

Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri --salah satunya-- Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite. Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau oleh putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana. Proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya di abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam.

Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata : 'parahyangan'. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?

Kian Santang, cukup berjasa dalam dakwahnya, termasuk di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, sekalipun dia berasal dari Sunda, tapi mendapat tempat di hati orang Betawi. Penguasa Pajajaran, ketika itu menyebut mereka yang masuk Islam sebagai kaum langgara. Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan. Dan tempat shalat mereka disebut langgar. Karena itu, orang Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan dari mushola. Kaum langgara inilah yang disebut samanan. Seperti kita ketahui, di Jakarta Barat maupun Bekasi ada kampung bernama Semanan.

Salah seorang murid Kian Santang, yang juga menjadi penyebar Islam yang handal adalah Pangeran Papak, seorang adipati dari Tanjung Jaya yang kini lokasinya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ratunya adalah Kiranawati, yang dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Menurut cerita rakyat, bila Ratu Kiranawati bepergian dengan kereta kuda, ia dilepas dengan mengumandangkan adzan.

Dalam diskusi itu, Ridwan menyebutkan, dalam proses Islamisasi, terdapat tujuh wali Betawi. Antara lain, Pangeran Darmakumala dan Kumpi Datuk yang dimakamkan berdekatan, di tepi kali Ciliwung, dekat Kelapa Dua, Jakarta Timur. Kemudian Habib Sawangan, yang dimakamkan di depan Pesantren Al-Hamidiyah, Depok. Pangeran Papak, dimakamkan di Jl Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur. Wali lainnya, Ki Aling, menurut Ridwan, tidak diketahui makamnya. Ketujuh 'wali Betawi' ini, menurutnya, hidup sebelum penyerbuan Fatahilah ke Sunda Kelapa.

Beberapa generasi setelah tujuh wali itu, terdapat Habib Husein Alaydrus yang dimakamkam di Luar Batang, tempat ia membangun masjid pada awal abad ke-18. Kong Jamirun dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Datuk Biru, makamnya di Rawabangke, Jatinegara. Serta Habib Alqudsi dari Kampung Bandan, Jakarta Utara. Di Mekkah, terdapat Sheikh Junaid Al-Betawi, yang berasal dari Kampung Pekojan, Jakarta Barat. Syekh Junaid, yang kumpi dari Habib Usman bin Yahya, adalah guru dari Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mengarang ratusan kitab, tersebar di berbagai negara Islam. Habib Usman, sendiri adalah salah seorang guru dari Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat.

Seperti daerah lainnya di Nusantara, Islamisasi di Betawi berlangsung penetration pacifique (penyebaran secara damai). ()






















Islamisasi Dinasti Prabu Siliwangi
Oleh AHMAD MANSUR SURYANEGARA
DINASTI Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15, menjadikan Islam sebagai agamanya secara aman dan damai. Diawali dengan sebab adanya pernikahan kedua Sang Prabu Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon. Subang Larang adalah santri Syekh Kuro atau Syekh Hasanuddin dengan pesantrennya di Karawang. Dinasti Sang Prabu Siliwangi dari pernikahannya dengan Subang Larang, terlahirlah tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran Walangsungsang, kedua, Nyai Lara Santang dan ketiga Raja Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.
Pesantren Syekh Kuro
Syekh Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh Hasanuddin, memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Kuro, menjadikan putrinya, Subang Larang masantren di Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. Menggantikan Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.
Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cirebon yang ditulis (1720) atas dasar Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak hanya sebagai Syahbandar di Cirebon semata. Ternyata juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan gelar Sang Prabu Siliwangi.
Adapun istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi Ambet Kasih putri kandung Ki Gedeng Sindangkasih. Istri kedua, Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa. Isteri ketiga, Nyai Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Dari peristiwa pergantian kedudukan di atas ini, antara Ki Gedeng Tapa dan Sang Prabu Siliwangi memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya memperoleh kekuasaan berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Hubungan antara keduanya dikuatkan dengan pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedeng Tapa yakni Subang Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah menantu Ki Gedeng Tapa.
Pernikahan di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kekuasaan politik yang sedang diemban oleh Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran kehidupan Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama ekonomi dengan Syahbandar Cirebon, Ki Gedeng Tapa. Begitu pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin aman kekuasaannya sebagai Syahbandar, bila tanpa perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi. Guna memperkuat power of relation antar keduanya, maka diikat dengan tali pernikahan.
Pengaruh eksternal
Pengaruh islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu Siliwangi tidak dapat dilepaskan hubungan dengan pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur Tengah, Fatimiyah (1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah tiada digantikan oleh kekuasaan Mamluk di Mesir dan Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan Dinasti Khu Bilai Khan, Mongol pun memeluk Islam. Kemudian membangun kekaisaran Mongol Islam di India.
Perkembangan kekuasaan politik Islam di Timur Tengah di bawah Turki semakin berjaya. Konstantinopel dapat dikuasainya (1453). Di Cina Dinasti Ming (1363-1644) memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk dalam pemerintahan. Antara lain Laksamana Muslim Cheng Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan muslim 27.000 dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon Choy, dalam Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon Laksmana Cheng Ho membangun mercusuar. Di Semarang mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.
Misi muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan perampokan atau penjajahan. Bahkan memberikan bantuan membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya. Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon.
Perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam seperti di atas, berdampak besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama sekali pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar di Cirebon.
Karena sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari India Islam, Timur Tengah Islam dan Cina Islam. Pembangunan mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya Subang Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu Siliwangi, dipesantrenkan terlebih dahulu ke Syekh Kuro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal yang demikian ini, putra putri Sang Prabu Siliwangi mencoba lebih mendalami Islam dengan berguru ke Syekh Datuk Kahfi dan Naik Haji.
Gunung dan guru
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari kelanjutannya menuturkan, setiap dalam upaya pencarian guru pasti tempat tinggalnya ada di Gunung. Tampaknya sudah menjadi rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu berada di Gunung. Dapat kita baca Rasulullah saw juga menerima wahyu Al Quran dan diangkat sebagai Rasul di Jabal Nur. Jauh sebelumnya, Nabi Adam as dijumpakan kembali dengan Siti Hawa ra, di Jabal Rahmah.
Tempat pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda di Jabal Hud. Pengangkatan Musa as sebagai Nabi di Jabal Tursina. Demikian pula Wali Sanga selalu terkait aktivitas dakwah atau ma kamnya dengan gunung. Tidak berbeda dengan kisah islamisasi putra putri Prabu Siliwangi erat hubungannya dengan guru-guru yang berada di gunung.
Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan putra pertamanya Pangeran Walangsungsang untuk berguru ke Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Di sini Pangeran Walangsungsang diberi nama Samadullah.
Walaupun demikian Pangeran Walangsungsang harus pula berguru kedua guru Sanghyang Naga di Gunung Ciangkap dan Nagagini di Gunung Cangak. Di sini Pangeran Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung Cangak ini pula berhasil mengalahkan Raja Bango. Pangeran Walangsungsang diberi gelar baru lagi Raden Kuncung. Dari data yang demikian, penambahan atau pergantian nama memiliki pengertian sebagai ijazah lulus dan wisuda dari studi di suatu perguruan.
Dengan cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji ke Syekh Datuk Kahfi Cirebon. Dalam Naskah Babad Cirebon dikisahkan Lara Santang sebelum sampai ke Cirebon, berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati di Gunung Tangkuban Perahu. Kemudian menyusul berguru ke Ajar Cilawung di Gunung Cilawung. Di sini setelah lulus diberi nama Nyai Eling.
Naik haji
Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi agar Pangeran Walangsungsang dan Lara Santang Naik Haji. Ternyata dalam masa Ibadah Haji di Makkah, Lara Santang dipersunting oleh Maolana Sultan Mahmud disebut pula Syarif Abdullah dari Mesir. Lara Santang setelah haji dikenal dengan nama Syarif Mudaim. Dari pernikahannya dengan Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif Hidayatullah pada 12 Mualid 1448 dikenal pula setelah wafat dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua adalah Syarif Nurullah.
Walangsungsang setelah haji, dikenal dengan nama Haji Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di Pakungwati, dikenal dengan nama Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana yang demikian menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi, diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik Walangsungsang atau Cakrabuana, yakni Raja Sangara masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama menjadi Haji Mansur.
Untuk lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang Prabu Siliwangi, dapat dibaca pada Dr. H. Dadan Wildan M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta.
Silsilah Prabu Siliwangi
Kembali ke masalah pokok artikel saya di atas ini. Suatu artikel yang saya angkat dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah Prabu Siliwangi merupakan belukar yang sukar saya pahami. Dari karya Dr. H. Dadan Wildan M.Hum ada bagian sangat menarik, Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya Cerbon 1720. Diangkat dari terjemahannya karya Pangeran Sulendraningrat (1972), dan Drs. Atja (1986).
Prabu Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Putra dari Prabu Anggalarang dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.
Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki Gedengkasih. Istri kedua, Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih Putri dari Ki Dampu Awang.
Selain itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu Siliwangi sebagai ke turunan ke-12 dari Maharaja Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah ke atas, Prabu Siliwangi (12) adalah putra dari (11) Prabu Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati (9) Prabu Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuk tunggal (6) Prabu Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari (2) Prabu Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia. Sudah menjadi tradisi penulisan silsilah, hanya menuliskan urutan nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang dihadapi pada zaman pelaku sejarah yang menyangdang nama-nama tersebut. Kadang-kadang juga disebut makamnya di mana.
Pengenalan Islam
Adapun Dinasti Prabu Siliwangi yang masuk Islam adalah dari garis ibu, Subang Larang. Dapat dipastikan dari Subang Larang ajaran Islam mulai dikenal oleh putra-putrinya. Walaupun Subang Larang sebagai putri Ki Gedeng Taparaja Singapora bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Namun Subang Larang adalah murid dari Syekh Hasanuddin atau dikenal pula sebagai Syekh Kuro.
Adapun putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua, putri Nyai Larang Santang. Ketiga, Raja Sangara. Tidak mungkin Subang Larang dengan bebas membelajarkan ajaran Islam secara terbuka dalam lingkungan istana. Oleh karena itu, Walangsungsang, mempelopori meninggalkan istana dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh Nuruljati.
Dalam pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan ditandai pergantian nama menjadi Ki Somadullah. Kemudian membuka pedukuhan baru, Kebon Pesisir. Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri Ki Gedeng Alang Alang. Dari sini memperoleh gelar baru Ki Wirabumi.***









Raja Sunda tidak Melarang Rakyatnya Pindah Agama
Selama abad ke-14, Sunda diperintah oleh delapan orang raja. Di antara mereka ada yang berkuasa di seluruh wilayah Negara Sunda yang terdiri atas ”Sunda Barat” (Sunda atau Pajajaran) dan ”Sunda Timur” (Galuh) dan ada yang hanya berkuasa di salah satu wilayah itu. Mereka yang pernah berkuasa selama abad ke-14 itu adalah:
Rakryan Saunggalah atau Prabu Ragasuci yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Penggantinya sebagai raja adalah anaknya, Prabu Citragandha atau Sang Mokteng Tanjung ‘yang Meninggal di Tanjung’ yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311). Ia digantikan anaknya, Prabu Linggadewata atau Sang Mokteng Kikis ‘Yang Meninggal di Kikis’ yang berkuasa selama 22 tahun (1311-1333).
Karena anaknya perempuan, Linggadewata kemudian digantikan oleh menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisesa atau Sang Mokteng Kiding ‘Yang Meninggal di Kiding’ selama tujuh tahun (1333-1340). Anak Linggadewata yang diperistrinya itu bernama Rimalestari dan perkawinan mereka melahirkan Prabu Ragamulya Luhurprabawa atau Sang Aki Kolot yang kemudian menggantikannya sebagai raja selama 10 tahun (1340-1350). Setelah meninggal dan dikenal sebagai Salumah ing Taman ‘Yang Meninggal di Taman’, ia digantikan anaknya yang bernama Prabu Maharaja Linggabhuwanawisesa atau Sang Mokteng Bubat ‘Yang Meninggal di Bubat’ selama tujuh tahun (1350-1357).
Karena anak Linggabhuwana masih kecil, kekuasaan dipegang oleh adiknya, Patih Mangkubumi Suradipati, yang setelah menjadi raja bergelar Sang Prabu Bunisora, selama 14 tahun (1357-1371). Setelah meninggal dan terkenal sebagai Sang Mokteng Gegeromas ‘Yang Meninggal di Gegeromas’, ia digantikan oleh anak Linggabhuwana yang bernama Niskala Wastukancana. Raja itu terhitung tokoh yang ”bernafas panjang”, pemerintahannya berlangsung selama 104 tahun (1371-1475).
Prabu Niskala Wastukancana atau Prabu Resi Bhuwana Tunggaldewata atau Sang Mokteng Nusalarang” ‘Yang Meninggal di Nusalarang’ itulah yang tampaknya dikenal sebagai raja dengan julukan Prabu Siliwangi yang pertama. Menurut NPW, semua Raja Sunda setelah Raja Linggabhuwana dikenal dengan julukan Prabu Siliwangi. Niskala Wastukancana mempunyai dua orang istri dan dari setiap istri lahir anak laki-laki. Akibatnya, ia terpaksa membagi negaranya menjadi dua.
Jika dugaan Hageman benar, berarti bahwa kemunculan orang Islam yang pertama di Sunda itu terjadi pada masa pemerintahan Prabu Ajiguna Linggawisesa (1333-1340). Hal ini sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil, mengingat hingga saat ini bukti tertua mengenai tinggalan budaya yang bercorak Islam di Leran (Jawa Timur), yaitu nisan Fatimah binti Maimun, bertitimangsa 1081. Masalahnya adalah hingga sekarang bukti demikian itu di wilayah Sunda belum ditemukan.
Naskah CP tidak banyak mengembarkan tokoh itu. Dalam naskah itu ia hanya disebut sebagai raja yang berkuasa selama 10 tahun dan setelah meninggal dikenal sebagai Salumah ing Kiding ‘Yang Meninggal di Kiding’. Julukan itu tentulah sama dengan Sang Mokteng Kiding menurut NPW.






















Cirebon, Masa Lalu dan Kini
Oleh Dr. H. DADAN WILDAN, M.Hum.

Sejarah Cirebon
Jika kita membuka catatan sejarah, pada abad ke-15 dan 16 Masehi Cirebon merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antarpulau. Lokasinya di pantai utara Jawa perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya berperan sebagai pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, Cirebon, bukan Jawa dan bukan pula Sunda.
Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pendiri kota Cirebon adalah Raden Walangsungsang -- putra Prabu Siliwangi dari Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, seorang puteri Ki Gedeng Tapa saudagar kaya di Pelabuhan Muarajati Cirebon -- yang membuka hutan ilalang dan membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) dimulai pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Dukuh yang dibangun itu lama kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (campuran), karena di sana bercampur para pendatang untuk bertempat tinggal atau berdagang, mereka terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat, serta mata pencaharian yang berbeda.
Ki Gedeng Alang-alang diangkat oleh masyarakat baru itu menjadi Kuwu Caruban yang pertama, dan Walangsungsang diangkat sebagai Pangraksabumi. Mata pencaharian mereka pada mulanya adalah sebagai nelayan. Ki Gedeng Alang-alang, setiap malam bekerja menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai dan pada siang harinya membuat terasi, petis, dan garam. Dari air belendrang bekas pembuatan terasi dari rebon, desa ini dikenal pula dengan sebutan Cirebon (cai-rebon).
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Bahkan ketika kakeknya, Ki Gedeng Tapa yang juga bergelar Ki Gedeng Jumajan Jati penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon.
Usai menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana yang kemudian disebut Haji Abdullah Iman tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon. Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Dengan empat keraton, yakni Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh yang dianggap paling penting karena merupakan keraton tertua yang didirikan pada tahun 1529, Keraton Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Kaprabon. Cirebon tumbuh sebagai pusat pemerintahan (keraton) dan pusat pendidikan (pengembangan ajaran Islam) di Jawa Barat.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Sejarah Kesultanan di Cirebon diawali dari pertumbuhan dan perkembangan kesultanan yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1478-1598). Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada tahun 1565. Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun (1570-1649).
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Ratu II (1649-1662/1667).
Gelar kepala negara Cirebon, sejak putra Panembahan Girilaya naik takhta pada tahun 1677, berubah dari gelar Panembahan menjadi Sultan sebagaimana digunakan oleh Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703) dan Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723). Gelar Sultan ini diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya pun dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibu kota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai kekuasaan penuh; mempunyai wilayah kekuasaan, rakyat, dan keraton masing-masing. Adapun Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan, melainkan hanya sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713). Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan dan keraton sendiri, namun berdiri sebagai kaprabonan (paguron) tempat belajar para intelektual keraton.
Pembagian Kesultanan Cirebon kepada tiga orang, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon sejak tahun 1677 merupakan babak baru terpecahnya keraton Cirebon kepada tiga orang putra Pangeran Girilaya yang masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya.
Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai caretaker.
Suksesi para sultan pada umumnya berjalan lancar, meskipun pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803) pernah terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sementara takhta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811). Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman.

Masa depan Kesultanan
Cirebon dengan empat kesultanan, yakni Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Kaparabonan, sesungguhnya merupakan aset budaya yang tak ternilai. Sayangnya, konflik internal yang terjadi di Kanoman membuat keberlangsungan budaya dan kesultanan Islam menjadi terganggu. Simbol-simbol adiluhung di keraton telah dicemari oleh kepentingan kekuasaan, wibawa, dan kepentingan keluarga.
Sebut saja, ketika di keraton Kanoman terjadi pelantikan dua sultan pada Rabu malam tanggal 5 Maret dan Kamis siang tanggal 6 Maret 2003. Hal itu menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton. Pelantikan kedua sultan ini dihasilkan dari ketaatan atas adat dan wasiat. Takhta Sultan Kanoman XII yang diturunkan kepada Elang Muhammad Saladin pada Rabu malam itu didasarkan pada surat wasiat yang ditinggalkan oleh almarhum Sultan Kanoman XI, Pangeran Raja Haji Muhammad Djalaludin yang menunjuk Saladin sebagai penggantinya. Sementara takhta yang diturunkan kepada Pangeran Raja Muhammad Emirudin pada hari kamis, kurang dari 24 jam sejak penobatan Saladin, didasarkan pada adat (tradisi) yang berlaku di kesultanan Kanoman yang biasanya putra pertama sultan dari garwa ratu atau permaisuri memiliki hak otomatis sebagai putra mahkota. Jadi, pada hari Kamis 6 Maret 2003 Keraton Kanoman mempunyai dua sultan; satu takhta dua raja. Sampai kini konflik di antara keduanya belum berakhir bahkan terjadi tindak "kekerasan" dari titah Sultan Emirudin kepada Sultan Saladin dan keluarganya untuk meninggalkan Keraton Kanoman. Siapapun belum ada yang berhasil melerainya.
Sesungguhnya para pewaris takhta kerajaan atau para sultan sekarang sadar bahwa keraton dan takhta kesultanan bukan lagi tempat mencari harta dan melanggengkan kuasa. Mereka justru dipusingkan untuk mengelola harta pusaka keraton, dan berjuang memperoleh kembali hak mereka tanpa bantuan siapa-siapa. Nama besar keraton dan kesultanan di masa silam memang megah dan berwibawa, tapi kini bila memasuki Keraton Kanoman yang sedang ramai dengan suksesi itu, di depan gerbang keraton cuma tersisa sekerat tanah alun-alun yang semrawut dan kotor, yang seolah-olah menjadi halaman pasar sore, jalan selebar delapan meter menuju keraton menyempit karena dikuasai pedagang kaki lima yang berebut lahan dengan abang-abang becak. Dan di belakang gerbang ada istana yang kini hanya tampak seperti sekumpulan bangunan tua dengan rumput liar di sekelilingnya; simbol kekuasaan keraton seakan tinggal puing; masa depan keraton mulai redup.
Dalam perebutan takhta kesultanan itu saya mengamatinya sebagai bentuk persaingan wibawa tradisional karena sultan mempunyai kedudukan, kekuasaan, dan pemegang mandat berbagai upacara tradisional. Sehingga persaingan itu saya rasa sulit untuk diselesaikan bahkan oleh pengadilan sekalipun. Tetapi akan lebih cepat selesai jika ditempuh dengan jalan ishlah; masing-masing mengakui alur kekerabatan dan kepentingan pelestarian wibawa itu dengan menyerahkan mandat karismatik dan wibawa tradisionalnya kepada salah satu di antara keduanya. Meski itu pun adalah pilihan yang juga mempertaruhkan wibawa keluarga masing-masing. Sebab, bagaimana pun wibawa tradisional itu telah terbangun oleh unsur-unsur magis religius yang biasanya muncul pada upacara-upacara sakral dan diikuti oleh ketaatan rakyat kepada sultannya. Dan legitimasi atas sultan yang diakui sebagai pemimpinnya itu baru dapat dilihat dari ketaatan rakyat kepada sultannya.
Terlepas dari itu semua, Cirebon memiliki rentang sejarah cukup panjang dari sebuah dusun hingga menjadi kerajaan dan kini menjelma sebagai kota besar di pesisir pantai utara Jawa Barat. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat perlu meningkatkan perhatian yang serius kepada lima daerah "Ciayumajakuning" itu. Setidak-tidaknya, sejarah masa silam Cirebon yang gemilang perlu direkonstruksi kembali dengan cara:
Pertama, mengembalikan pelabuhan Cirebon sebagai pelabuhan internasional yang ramai tempat berlabuh kapal-kapal besar dari seluruh dunia, dan berdayakan pelabuhan udara Penggung sebagai pelabuhan udara lokal untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pariwisata, dan jasa. Melalui otonomi daerah, sesungguhnya Cirebon memiliki aset budaya dan sumber daya manusia, alam, dan industri yang cukup besar yang bisa diberdayarkan untuk kemajuan Cirebon dan sekitarnya.
Kedua, menempatkan keraton Cirebon sebagai pusat budaya dan tradisi masyarakat Cirebon dengan perhatian sepenuhnya terhadap sultan sebagai pemimpin spiritual, budaya, dan tradisi, apalagi kalau ditempatkan seperti kesultanan Yogyakarta; di mana seorang sultan juga merangkap sebagai kepala pemerintahan di daerah, paling tidak memberikan tempat khusus kepada sultan sebagai pemegang kuasa dan wibawa tradisional.
Ketiga, mengakui secara utuh keberadaan Cirebon dan wilayah sekitarnya sebagai bagian dari Jawa Barat dan etnis Sunda yang unik, khas, dan mempunyai karakter tersendiri dengan cara mengembangkan dan memberi perhatian terhadap sosial budaya dan tradisinya yang khas.
Keempat, berdayakan masyarakat pesisir utara (Cirebon dan Indramayu) dan masyarakat "pedalaman" Majalengka dan Kuningan dengan pemberian perhatian penuh dalam berbagai sektor yang diperlukan di antara letak geografis yang berbeda, dan tidak menganggap sebelah mata kepada masyarakat di sana sebagai masyarakat kelas dua. Dorongan untuk membentuk provinsi Cirebon beberapa tahun yang lalu yang kini redup, dipicu oleh ketidakberpihakan pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat terhadap wilayah ini. Karena itu, prioritas pembangunan provinsi Jawa Barat di bawah kepemimpinan Gubernur Danny Setiawan untuk lima tahun mendatang diarahkan pada peningkatan sektor ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat di kelima daerah itu.
Kelima, agar tidak menimbulkan konflik internal di kalangan keraton perlu dilegalkan kedudukan kesultanan Cirebon sebagai aset budaya masa silam melalui peraturan daerah (perda) sehingga campur tangan pemerintah daerah dalam membina, mengembangkan, melestarikan, dan menjaga kehormatan kerabat keraton dilindungi oleh aturan yang berlaku. Apabila perda itu terwujud, keikutsertaan pemerintah daerah sebagai penengah dalam konflik internal di Keraton Kanoman, misalnya, bisa terlegalkan dan persoalan itu bisa dengan cepat selesai. Syukur-syukur kalau keempat kesultanan itu diberikan hak sebagai pemegang otoritas tradisi atau sebagai daerah istimewa seperti Yogyakarta.
Keenam, optimalisasi peran Dewan Perwakilan Daerah asal Jawa Barat melalui Pangeran Arief Natadiningrat yang mememahami desah nafas warga dan denyut budaya Cirebon, sehingga dapat merefleksikan harapan dan keinginan masyarakat Cirebon di masa yang akan datang melalui jalur legislatif. Wallahu a'lam.***













Tidak ada komentar:

Posting Komentar